Sabtu, 31 Januari 2015

Pesantren pencipta kesadaran



Pesantren pencipta kesadaran
Pendidikan adalah kunci meraih kejayaan negara dalam zaman modern semacam ini. namun sayang zaman modern yang semakin maju, menjadikan rakyat hanya bermuara pada materil-materil, tak jarang mereka tanpa memedulikan orang sekitar yang menderita. Pendidikan hanya dijadikan sebagai pelancar kesuksesan duniawi dan tidak ada lagi kondisi negeri yang ingin diperbaiki. Mereka yang pintar selalu mencari duniawi. Akibatnya tanggung jawab sebagai pencerah bangsa kerap terabaikan oleh keegoisan sendiri.
Pendidikan harus bebas dipahami, bukan lagi selalu terkait dengan nama sekolah. Pendidikan bisa juga bisa didentika dengan pondok pesantren. Institusi yang tela lama terbangun oleh masa-masa pra sejarah. Sekolah sendiri terbangun ketika masih baru ketimbang pesantren. Sekolah dibangun ketika masa zaman kolonialisme, sedangkan pesantren didirikan oleh zamannya wali penyebar islam.
Kita patut berbangga memiliki model institusi pendidikan yang lahir dalam kebudayaan kita sendiri, yaitu pondok pesantren. atas kebangga itu, jokowi akan memperjuangkan pesantren sebagai alat mencerdeskan bangsa. Terlihat dengan kampanyenya dulu ingin menisbatkan salah satu tanggal untuk santri.
 Pesantren adalah salah satu kunci mendidik anak paling ideal dibanding institusi lainnya yang pernah ada. Meski, pesantren banyak dinilai kolot dan tidak mampu memberikan kelebihan dalam hidup. Anggapan Mereka, kalau pesantren masih dinilai seperti itu salah besar. Karena pesantren mampu menggunakan metodelagi lebih canggih dibanding dengan yang ada dalam sekolahan. Dengan tanap buta realitas pesantren mampu menjadi kuci utama mendidik santri yang memiliki kualitas terdepan. Uangkapan paling tepat adalah pesantren telah menuju ke pusat sana. Negara ini banyak orang penting lahir dalam institusi Pesantren. pesantren mampu mendominasi dalam wacana nasional. Kita akan melihat tokoh-tokoh cendikiawan, politikus, pejabat tinggi, mentri semua ada perwakilan sampai presiden sekalipun dari pesantren. Memang pesantren adalah kunci paling utama untuk mendidik anak bisa menjadi hebat.
Disamping memberikan pelajaran pesantren juga mampu memberikan pelatihan kepada semua santri tentang etika, termasuk tanggung jawab yang saat ini sangat mendesak ada dalam kehidupan rakyat negeri ini. lingkungan pesantren mengajarkan santri untuk memiliki rasa tanggung jawab tinggi, meski dalam formalitas pendidikan tanggung jawab tidak ada ajaran secara langsung, namun karena sudah secara berbondonglah tanggung jawab akan muncul sendiri. Lihatlah ketika adzan memanggil mereka untuk sholat, semua santri akan berbondong-bondong menuju masjid untuk melakukan pendekatan kepada sang pencipta. Tidak lupa, kita akan melihat kesetnya santri akan hilang dengan adanya santri lain yang mengajak untuk melakukan “solat”. Benarlah kalau dalam pesantren akan ada sikap “kapewuh” kalau bertindak melanggar aturan adat.
Tanggung jawab sosial tanpa adanya konsep yang diajarkan dalam pensantren sudah terbentuk sendiri. manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, Dalam interaksi dengan makhluk lain. seorang manusia memiliki berbagai problematika yang begitu besar sehingga tanpa dinyana menyertakan berbagai syarat dan ketentuan yang sudah tercipta tersendiri. Yaitu keterbatasan dalam interaksi sosial. Kita kan kenal dalam pesantren tentang kesadaran dalam diri atas nama tanggung jawab sosial.
kesadaran
Kesadaran terbentuk melalui lingkungan sosial pesantren. Kesadaran terbentuk melalui tanggung jawab sosial dalam interaksi dengan santri lain. mungkin kesadaran lahir bukan karena kesadaran secara langsung dalam dirinya, namun melalui keterkaitan antar interaksi sosial akan membentuk suatu kapewuh dan dari keterpaksaan akan terjadi kebiasaan. Kebiasaan kesadaran ini akan lama kelamaan melekat dalam diri setiap santri.
Kesadaran yang sudah melekat akan menciptakan suatu kebiasaan yang sulit akan hilang dalam dirinya. kebiasaan yang baik tersebut akan membentuk seorang santri menjadi pencinta ilmu. Mencintai adalah suatu rasa yang sudah tidak akan mati. Sehingga kecintaannya dalam ilmu akan terbawa sampai akhir hayat.
pengajaran
Dalam pondok pesantren sendiri mengajarkan berbagai kitab klasik yang sering di kuliti oleh kyai. Dalam pengajaran kitab biasanya guru sebagai center akan pengajian itu. Bukan berarti kyai yang menyetir semua ilmu yang ada di kitab namun, santri diminta untuk selalu menafsirkan ulang yang ada dalam kitab. Hal, inilah yang kerap salah dipahami (delusi) dalam kritikan tentang pesantren. Kiyai telah paham lebih jauh akan sikapnya. Acungan jari akan mengakibatkan santri yang tidak sesuai dengan pendapat sang kyai akan mendaapat cercaan dari santri lain. hal inilah yang “emoh” kyai lakukan.
Meski, mempelajari kitab-kitab kuno. Tak jarang bahasa asing mengendap-endap menjadi primadona bagi setiap santri. Biasanya, santri yang suka belajar inggris terular dari sekolahan umum yang diajarkan dalam kelas. Hal inilah berakibat menularlkan santri lain bergerak dalam mencari pengasahan komunikasi, meski bahasanya orang “kafir” sekalipun. Itulah  animo santri gairah belajar bahasa asing. Bahasa asing kesukaan santri biasanya yang berbahasa inggris, bahasa arab dan lain-lain.
Dengan sikap animo dalam mencari ilmu santri kerap naglor ngidul menghinggapi kota-kota besar untuk santri di kampus-kampus. Inilah yang nantnya di sebut nurcholis madjid sebgaai santri urban. Santri urban biasanya santri model Nahdlatul Ulama (NU), tidak cocok untuk santri Ahmad Dahlan. Karena santri Muhammadiyah tidak memiliki syarat urban. Karena sudah berasal dari kota-kota besar.
Santri memiliki kehidupan sendiri. mereka selalu berkomplotan dan selalu hidup berdampingan tanpa pernah ada suatu tekanan yang kadang menyiksa “otak” mereka. Karena “otak” mereka akan dimuntahkan dengan secarik kertas berisi pertanyaan dari guru atau pihak sekolahan. Jadi ayo nyantri.


Menimbang kedua Capres



Menimbang kedua Capres
Paska Deklarasi kedua capres-cawapres pada 19 maret lalu, ada dua kandidat yang maju pada Pilpres nanti. Saya mendiskusikan pencalonan kedua capres tersebut dengan kawan-kawan.
Diskusi itu hanya membahas capres saja, yaitu jokowi dan prabowo. Bahan diskusipun hanya menyangkut tiga poin, yaitu fisik, asal keluarga, dan pengalaman kepemimpinan.
Pertama mengenai fisik, boleh dikatakan semua sepakat fisik gagah, tegap, dan rupawan milik prabowo, sedangkan jokowi hanya memiliki fisik kerempeng, wajah ndeso, dan cengengesan. Kalau soal yang cocok jadi presiden melalui penilain dari fisik, pastilah prabowo yang tepat jadi pemimpin ideal.
Selanjutnya diskusi dilanjutkan poin Kedua tentang asal keluarga, jokowi berasal dari kalangan rakyat biasa. Kariernya dibangun melalui usaha keras dan tekad yang susah payah. Jokowi yang berasal dari rakyat biasa pastilah lebih tahu bagaimana penderitaan rakyat kecil yang pernah dialaminya. Sedangkan, prabowo sudah hidup enak atau dari kalangan elite sejak lahir, keluarganya berasal dari orang punya. Kalau prabowo masih awam bagaimana susahnya jadi rakyat kecil.jadi kesepakatan bahwa paling unggul dalam memahami rakyat kecil adalah jokowi, dan jargon kampanye jokowi adalah kita sangat pas dan cocok.
Ketiga mengenai latar pengalaman kepemimpinan, prabowo pernah menjadi pemimpin kopassus saat zaman orba. Dan ada isu tentang desas desus keterlibatan prabowo mengenai hilangnya para aktivis, hingga sekarang masih sulit diungkap dan para aktivis yang hilang masih abu-abu alias tidak jelas keberadaannya. Mengenai jokowi, jokowi sudah pernah menjadi wali kota solo selama dua periode, meski yang kedua masih belum tuntas. Tapi, keterpilihan jokowi yang kedua di kota solo sudah tunjukkan kepiawaian dalam menangani sebuah daerah. Tak ketinggalan keterpilihannya sebagai gubernur DKI jakarta sudah menegaskan bahwa dirinya dipercaya dan dieluh-eluhkan untuk jadi pemimpin oleh rakyat.
Begitulah timbang menimbang anatara kedua capres yang kita bahas tentang jokowi dan prabowo. Semoga dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan 9 juni nanti, agar suara kita tak jatuh pada pemimpin yang kurang ideal.

Jumat, 30 Januari 2015

Angkringan Mendidik Kejujuran



Angkringan Mendidik Kejujuran
Korupsi telah menjangkit keseluruh elemen masyarakat indonesia. semua pejabat dari perwakilan terhormat rakyat, guru, sampai aparat penegak hukum tidak terbebas dari jeratan kasus korupsi. Akhir-akhir ini budi gunawan yang ingin dicalonkan jokowi maju menjadi kepala polisis (kapolri) harus menghadapi komisi pemberantasan koruspi (KPK). Sebab mantan pengawal mega ini melakukan tindakan korupsi. Untuk, itu pendidikan kejujuran adalah salah satu penawar meredam merebaknya virus bernama korupsi.
Pendidikan dan ststus tidak bisa melepaskan dari ikatan korupsi. Sederet status akademik mulai dari profesor, sarjana, doktor harus merasakan dinginnya jeruji besi karena kasus korupsi. Banyak orang kaya yang memiliki ststus “wah” dalam masyarakat, juga mendekam di jeruji besi. Status mulia sebagai penyiar Agama menjadi tersangka pula dalam kasus korupsi. Semua bisa tertular wabah korupsi. Tidak terkecuali “a”, “b”, atau “c”. Hanya saja, yang paling menyedihkan banyak “tersangka”korupsi memiliki pendidikan tinggi.
Kausu korupsi yang melanda indonesia sudah sangat akut. Wabah itu tidak dapat dicegah hanya mengandalkan pendidikan Agama dan pendidikan moril di sekolah. Butuh wadah nyata untuk membentuk anak-anak sekolahan untuk membentuk kepribadian  jujur. Kalau, pembentukan tidak segera cepat terlaksanakan akan mengakibatkan korupsi sulit terhapuskan. Sekarang marilah kita melirik dengan pendidikan secara nyata alias langsung dalam kontak sosial.
Kontak sosial dalam masyarakat sangat mempengaruhi suatu kepribadian seseorang. Seorang yang berkumpul dengan korupsi akan melakukan korupsi juga, karena mengikuti tekanan rekanan. Orang yang berhubungan  dengan orang saleh akan memberi virus kebaikan kepada orang yang berada di sisinya. Hal inilah menjadikan sosial sebagai pilar utama dalam pembentukan watak.
Watak masyarakat yang baik  dapat diperoleh melalui kesederhanaan. Tidak butuh biaya mahal, apalagi melalui jimlet-jimle. Mengisi tes psikologi, mengisi soal-soal secara transenden. Semua itu hanya di muka, tidak riill secara nyata. Lewat melalui warung pinggar jalanlah medium pendidikan kejujuran dalam mendidik masyarakat adalah yang paling tepat. Hal ini dikarenakan warung pinggir seperti pedagang kaki lima atau lebih akrab dengan sebutan warung kucingan atau angkringan. Dalam mekanisme pembelian, seorang penjual membiarkan pembeli mengambil sendiri makanan yang ingin diinginkan. Tidak ada pantauan khusus dari penjual. Hal inilah yang menjadikan penentu, apakah pembeli mengetuk hatinya untuk berkata jujur dengan mengakui semua jajanan yang dimakan. Atau tidak mengakui makanan yang dimakan. Disinilah letak titik fokus dalam pembelajaran pendidikan kejujuran secara nyata.
Kita tengok sebentar warung-warung buatan barat atau restauran. Meski tempat lebih nayaman dibanding angkringan, namun tidak ada pendidikan apapun dalam melatih masyarakat. dalam mekanisme pembelian, semua dipantau langsung oleh penjual. Semuanya dipantau dalam makananpun semua di sediakan secara tertib. Pendidikan jujur kering dalam warungan barat.
Dua model warung itu yang memiliki kecendrungan berbeda, yang satu mewah dan sederhana. Meski memiliki kesederhananan namun mengandung nilai lebih dibanding yang membutuhkan biaya mahal dan untuk orang tersebut.
 Untuk itu, angkringan adalah salah satu model pendidikan bagi masyarakat untuk melatih kejujuran. Karena itu meski kadang kurang mengenakkan dilihat, karena kurang kebersihannya tetap saja angkringan harus dilestarikan dalam bumi indonesia.

Sekulrasisi Sekolahan



Sekulrasisi Sekolahan

Pendidikan agama dalam sekolah cenderung diskriminatif kepada umat minoritas di sekitarnya. Pendiidkan agama bersifat privasi masing-masing dalam setiap pemeluk, harusnya tidak diajarkan dalam sekolah-sekolah yang notabene umum berlabel “nasional”. Sistem nasional mengindikasikan bahwa sekolah itu bersifat adil, tanpa adanya diskriminatif dari manapun. Namun, hal itu hanya omong kosong belaka. Kerap kali, pendiidkan agama dijadikan pengusir murid untuk meninggalkan sekolah secara halus. Hal inilah yang menjadi “titik fokus” kajian mengapa kita perlu memisahkan pendidikan agama di sekolah.

Pendidikan agama seringkali salah diartikan dalam sekolahan. Padahal pendidikan agama harusnya jadi praktek concern nya bukan malah nilai yang harus menjadi puncak keagamaan. Hal inilah yang menjadikan agama minim moralitas, sehiingga agama hanya teori tanpa ada pelaksanaan nyata dalam kehidupan keseharian.kita tahu bahwa agama adalah kunci moral yang mampu menganulir setiap ketidakbaikan dalam diri manusia atau peserta didik. Dengan agama yang kuat dalam setiap anak didik maka, kita akan melihat betapa enaknya siswa rajin bersembahyang di masjid, di gereja mapun wihara.

Pendidikan agama malah kering makna dalam setiap pendidikannya. Kerap kali anak dengan bangga menunjukkan “nilai” pendidikan agamanya. Kerap kali seorang anak akan murung ketika tahu “nilai” pendiidkan agamanya diketahui jeblok dalam raport. Nilai menjadi patokan utama untuk mengukur keagamaan seseorang. Padahal Al Quran tidak demikian dalam menilai seseorang yang dekat dengan Agama Allah. Dengan Agama hanya dinilai dalam buku raport akhirnya, perilaku ataupun sikap mereka hilang dengan kesombongan mendapat nilai tinggi di sekolah. Yang “nilai” rendah akan di lihat oleh sekelompok orang sebagai orang tidak ahli agama. Padahal itu hanya formalitas semata yang menyangkut pengetahuan.  Agama kerap kali menyebutkan untuk melakukan tindakan nyata. Dalam Al Quran pernah disebutkan bahwa orang yang hanya berkata baik “tidak” mendapat apa-apa.

Diskriminasi kerap terjadi saat pelajaran pendidikan agama. Seseorang yang memiliki agama berbeda dengan agama mayoritas akan disuruh keluar atau dipaksa mengikuti agama mayoritas. sehingga, agama mayoritas akan diajarkan oleh siswa yang tidak sepahaman dengan keyakinan yang dipeluknya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mengikuti semua aturan yang diberlakukan oleh sekolahan yang dibangun oleh negara tersebut. Hal inilah yang kerap terjadi di sekolah-sekolah negeri di indonesia. namun, tidak pernah luput dari perhatian negara. Sejak kecil mereka ditanamnkan diskriminasi terhadap kepercayaan kepada orang lain. dan lagi, sejak kecil mereka juga di pisahkan oleh sekolah. Sehingga tertanam bahwa perbedaan adalah sebuah pengasingan. Maka, anak-anak sekolah ketika besar akan sulit menerima adanya perbedaan. Tidak salah kalau anak yang baru lulus sekolahan akan mudah di beri doktrin untuk membunuh orang lain.  padahal diskriminasi terhadap agama melanggar hukum yang telah disepakati dalam Undang-undang dasar (UUD) 1945.

Bunyi UUD 1945 pasal 29 ayat 2 begini :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat  menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Dan hal ini diperkuat lagi dalam pasal 28E UUD 1945 yang bunyinya :

setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan –nya, serta berhak kembali.
jam ekstra
pendidkan agama harusnya diluar jam pelajaran pokok yang sering kita lakukakan. Melainkan harusnya diberikan pada jam ekstra untuk lebih mendalam dalam mempelajari agama. Soalnya, pendidikan agama yang kerap di ajarkan di kelas sering mentargetkan apa yang di bebankan. Pendidikan agama malah menjadi target. pendidikan agama kalau dibiarkan akan menjadi kering esensi keagamaan.

Pendiidkan yang diberikan pada jam luar akan semakin memperdalam kajian islam. Hal ini dikarenakan pembimbing akan lebih detail dalam mengajarkan materi setiap siswa. Guru akan mengecek satu persatu tentang tata cara solat. Apabila, guru menemukan siswa yang kurang benar dalam menjalankan solat akan selalu dibimbing tanpa harus peduli dengan jam yang dibebankan.

Mengeluarkan pendidikan agama akan semakin menjadikan siswa religius. Kita akan menyaksikan siswa-siswi akan senang hati bergerak hatinya belajar agama secara intim. Mereka akan belajar sesutau yang menjadi permasalahan sosialnya, bukan lagi belajar sesuatu hal yang tidak pernah ada dalam interaksi sosialnya. Sehingga, pendidikan agama memang harus keluar dalam sekolahan. Atau lebih akarab sebagai sekularisasi sekolahan.

Kamis, 29 Januari 2015

Mengajarkkan Anak Cinta Masjid



Mengajarkkan Anak Cinta Masjid

Umat islam tidak lama telah melaksanakan peringatan hari maulud nabi muhammad SAW. Kita telah mendengarkan lantunan sholawat dengan riuh-riuh dan merdunya suarau di balik mikrofon masjid. Mereka datang “tidak dibayar” untuk mendentunkan sholawat nabi. Mereka merayakan kelahiran nabi atas dasar “cinta” nabi teramat dalam. mereka rela bermalam sampai jam menunjukkan “jam tidur” ketika kedatangan maulud, sebagai perayaan nabi besar “MUHAMMAD SAW”. Namun, bukan lagi bapak-bapak atau ibu-ibu yang datang di masjid melainkan anak juga kadang mengikuti acara peringatan nabi tersebut. Begitu indahnya bila, anak sejak dini ditanamkan dekat dengan agama ditengah-tengah “zaman Edan” seperti sekarang.

Anak-anak kerap kali “ada “ dalam setiap peringatan nabi. Hal inilah yang menjadi kebahagiaan kepada semua orang tua muslim yang melihat anaknya giat mendatangi masjid. Masjid adalah tempat suci bagi umat islam. Dengan kedatanagn mereka semoga nanti mereka akan menjadi suci seperti masjid, yang tabu dijadikan praktek maksiat seperti tempat-tempat lainnya. Semoga anak nantinya mampu menjadi seperti masjid yang tidak suka melakukan tindakan kejahatan, begitu doa setiap orang tua.

Mengurus anak butuh perhatian khusus agar nantinya anak cinta datang ke masjid. Untuk itu lingkungan sangat mempengaruhi anak suka atau tidak suka datang ke masjid. Orang tua ketika mendidik anak harusnya pintar-pintar mendorong anak agar dapat cinta masjid. Dengan cinta masjid maka, anak otomatis jiwa religiusnya lebih dibanding dengan anak yang absen melulu datang ke masjid.

Langkah yang perlu dilakukan oleh orang tua agar dapat menjadikan anak cinta masjid adalah sebagai berikut.

Pertama, membiarkan anak sesuka bermain dalam masjid. Ketika acara maulid contohnya, anak kerap kali sering berinteraksi dengan anak lain sejawatnya. Anak pasti melakukan hal-hal lucu yang kerap kita asumsikan menggangu jalannya ritual keagamaan. namun, apabila permainan itu dianggap mengganggu pada akhirnya, di kucilkan maka, kondisi psikis anak akan berubah dengan masjid. Anak akan cenderung menakuti masjid. Mereka akan selalu ogah-ogahan pergi ke masjid, meski hanya untuk sholat berjamaah saja. untuk itu, sikap orang dewasa harus berhati-hati dalam menangani ini.

Kedua, memberikan makanan kepada anak. Makanan dari hasil maulid bisa dibagi-bagikan kepada anak. Anak akan bangga ketika mendapat makanan ketika mengikuti hal-hal yang berbau ritual. Mereka akan senantianya datang kembali ketika “eksistensi”nya diakui oleh setiap orang dewasa yang ada dalam masjid.

Ketiga, mengikutkan pembacaan apapun dalam setiap ritual keagamaan. partisipasi sanak sangat dibutuhkan demi terciptanya regenerasi dari generasi berikutnya. Sehingga, generasi akan aman terjaga. Dengan mengikutkan anak dalam setiap kegiatan ritual keagamaan akan memberikan pengalaman kepada anak-anak. Pada akhirnya, ketika ada kegiatan ritual keagamaan anak-anak akan lebih pengalamana dibanding dengan yang tidak ikut. Hal inilah yang harus diusahakan agar anak-anak menjadi regenerasi.

Untuk itu, generasi sekarang yang semakin kacau dapat tertangani apabila lingkungan dan orang tua dapat berintegarasi nyata. Karena anak-anak akan menjadi baik ketika faktor kedua tersebut dapat berjalan sejajar dalam mendidik anak. Sehingga, ketika kesejajaran mereka dapat berjalan lancar, indonesia tidak usah mengagungkan “KPK” sebagai dewa penyelamat.