Sekulrasisi Sekolahan
Pendidikan agama dalam
sekolah cenderung diskriminatif kepada umat minoritas di sekitarnya. Pendiidkan
agama bersifat privasi masing-masing dalam setiap pemeluk, harusnya tidak
diajarkan dalam sekolah-sekolah yang notabene umum berlabel “nasional”. Sistem
nasional mengindikasikan bahwa sekolah itu bersifat adil, tanpa adanya
diskriminatif dari manapun. Namun, hal itu hanya omong kosong belaka. Kerap
kali, pendiidkan agama dijadikan pengusir murid untuk meninggalkan sekolah
secara halus. Hal inilah yang menjadi “titik fokus” kajian mengapa kita perlu
memisahkan pendidikan agama di sekolah.
Pendidikan agama seringkali
salah diartikan dalam sekolahan. Padahal pendidikan agama harusnya jadi praktek
concern nya bukan malah nilai yang harus menjadi puncak keagamaan. Hal
inilah yang menjadikan agama minim moralitas, sehiingga agama hanya teori tanpa
ada pelaksanaan nyata dalam kehidupan keseharian.kita tahu bahwa agama adalah
kunci moral yang mampu menganulir setiap ketidakbaikan dalam diri manusia atau
peserta didik. Dengan agama yang kuat dalam setiap anak didik maka, kita akan
melihat betapa enaknya siswa rajin bersembahyang di masjid, di gereja mapun
wihara.
Pendidikan agama malah kering
makna dalam setiap pendidikannya. Kerap kali anak dengan bangga menunjukkan
“nilai” pendidikan agamanya. Kerap kali seorang anak akan murung ketika tahu
“nilai” pendiidkan agamanya diketahui jeblok dalam raport. Nilai menjadi
patokan utama untuk mengukur keagamaan seseorang. Padahal Al Quran tidak
demikian dalam menilai seseorang yang dekat dengan Agama Allah. Dengan Agama
hanya dinilai dalam buku raport akhirnya, perilaku ataupun sikap mereka hilang
dengan kesombongan mendapat nilai tinggi di sekolah. Yang “nilai” rendah akan
di lihat oleh sekelompok orang sebagai orang tidak ahli agama. Padahal itu
hanya formalitas semata yang menyangkut pengetahuan. Agama kerap kali menyebutkan untuk melakukan
tindakan nyata. Dalam Al Quran pernah disebutkan bahwa orang yang hanya berkata
baik “tidak” mendapat apa-apa.
Diskriminasi kerap terjadi
saat pelajaran pendidikan agama. Seseorang yang memiliki agama berbeda dengan
agama mayoritas akan disuruh keluar atau dipaksa mengikuti agama mayoritas. sehingga,
agama mayoritas akan diajarkan oleh siswa yang tidak sepahaman dengan keyakinan
yang dipeluknya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mengikuti semua
aturan yang diberlakukan oleh sekolahan yang dibangun oleh negara tersebut. Hal
inilah yang kerap terjadi di sekolah-sekolah negeri di indonesia. namun, tidak
pernah luput dari perhatian negara. Sejak kecil mereka ditanamnkan diskriminasi
terhadap kepercayaan kepada orang lain. dan lagi, sejak kecil mereka juga di
pisahkan oleh sekolah. Sehingga tertanam bahwa perbedaan adalah sebuah
pengasingan. Maka, anak-anak sekolah ketika besar akan sulit menerima adanya
perbedaan. Tidak salah kalau anak yang baru lulus sekolahan akan mudah di beri
doktrin untuk membunuh orang lain.
padahal diskriminasi terhadap agama melanggar hukum yang telah
disepakati dalam Undang-undang dasar (UUD) 1945.
Bunyi UUD 1945 pasal 29 ayat
2 begini :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Dan hal
ini diperkuat lagi dalam pasal 28E UUD 1945 yang bunyinya :
setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan –nya, serta berhak kembali.
jam ekstra
pendidkan agama harusnya
diluar jam pelajaran pokok yang sering kita lakukakan. Melainkan harusnya
diberikan pada jam ekstra untuk lebih mendalam dalam mempelajari agama.
Soalnya, pendidikan agama yang kerap di ajarkan di kelas sering mentargetkan
apa yang di bebankan. Pendidikan agama malah menjadi target. pendidikan agama
kalau dibiarkan akan menjadi kering esensi keagamaan.
Pendiidkan yang diberikan
pada jam luar akan semakin memperdalam kajian islam. Hal ini dikarenakan
pembimbing akan lebih detail dalam mengajarkan materi setiap siswa. Guru akan
mengecek satu persatu tentang tata cara solat. Apabila, guru menemukan siswa
yang kurang benar dalam menjalankan solat akan selalu dibimbing tanpa harus peduli
dengan jam yang dibebankan.
Mengeluarkan pendidikan agama
akan semakin menjadikan siswa religius. Kita akan menyaksikan siswa-siswi akan
senang hati bergerak hatinya belajar agama secara intim. Mereka akan belajar
sesutau yang menjadi permasalahan sosialnya, bukan lagi belajar sesuatu hal
yang tidak pernah ada dalam interaksi sosialnya. Sehingga, pendidikan agama
memang harus keluar dalam sekolahan. Atau lebih akarab sebagai sekularisasi
sekolahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar