Jumat, 30 Januari 2015

Sekulrasisi Sekolahan



Sekulrasisi Sekolahan

Pendidikan agama dalam sekolah cenderung diskriminatif kepada umat minoritas di sekitarnya. Pendiidkan agama bersifat privasi masing-masing dalam setiap pemeluk, harusnya tidak diajarkan dalam sekolah-sekolah yang notabene umum berlabel “nasional”. Sistem nasional mengindikasikan bahwa sekolah itu bersifat adil, tanpa adanya diskriminatif dari manapun. Namun, hal itu hanya omong kosong belaka. Kerap kali, pendiidkan agama dijadikan pengusir murid untuk meninggalkan sekolah secara halus. Hal inilah yang menjadi “titik fokus” kajian mengapa kita perlu memisahkan pendidikan agama di sekolah.

Pendidikan agama seringkali salah diartikan dalam sekolahan. Padahal pendidikan agama harusnya jadi praktek concern nya bukan malah nilai yang harus menjadi puncak keagamaan. Hal inilah yang menjadikan agama minim moralitas, sehiingga agama hanya teori tanpa ada pelaksanaan nyata dalam kehidupan keseharian.kita tahu bahwa agama adalah kunci moral yang mampu menganulir setiap ketidakbaikan dalam diri manusia atau peserta didik. Dengan agama yang kuat dalam setiap anak didik maka, kita akan melihat betapa enaknya siswa rajin bersembahyang di masjid, di gereja mapun wihara.

Pendidikan agama malah kering makna dalam setiap pendidikannya. Kerap kali anak dengan bangga menunjukkan “nilai” pendidikan agamanya. Kerap kali seorang anak akan murung ketika tahu “nilai” pendiidkan agamanya diketahui jeblok dalam raport. Nilai menjadi patokan utama untuk mengukur keagamaan seseorang. Padahal Al Quran tidak demikian dalam menilai seseorang yang dekat dengan Agama Allah. Dengan Agama hanya dinilai dalam buku raport akhirnya, perilaku ataupun sikap mereka hilang dengan kesombongan mendapat nilai tinggi di sekolah. Yang “nilai” rendah akan di lihat oleh sekelompok orang sebagai orang tidak ahli agama. Padahal itu hanya formalitas semata yang menyangkut pengetahuan.  Agama kerap kali menyebutkan untuk melakukan tindakan nyata. Dalam Al Quran pernah disebutkan bahwa orang yang hanya berkata baik “tidak” mendapat apa-apa.

Diskriminasi kerap terjadi saat pelajaran pendidikan agama. Seseorang yang memiliki agama berbeda dengan agama mayoritas akan disuruh keluar atau dipaksa mengikuti agama mayoritas. sehingga, agama mayoritas akan diajarkan oleh siswa yang tidak sepahaman dengan keyakinan yang dipeluknya. Mau tidak mau, suka atau tidak suka harus mengikuti semua aturan yang diberlakukan oleh sekolahan yang dibangun oleh negara tersebut. Hal inilah yang kerap terjadi di sekolah-sekolah negeri di indonesia. namun, tidak pernah luput dari perhatian negara. Sejak kecil mereka ditanamnkan diskriminasi terhadap kepercayaan kepada orang lain. dan lagi, sejak kecil mereka juga di pisahkan oleh sekolah. Sehingga tertanam bahwa perbedaan adalah sebuah pengasingan. Maka, anak-anak sekolah ketika besar akan sulit menerima adanya perbedaan. Tidak salah kalau anak yang baru lulus sekolahan akan mudah di beri doktrin untuk membunuh orang lain.  padahal diskriminasi terhadap agama melanggar hukum yang telah disepakati dalam Undang-undang dasar (UUD) 1945.

Bunyi UUD 1945 pasal 29 ayat 2 begini :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat  menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Dan hal ini diperkuat lagi dalam pasal 28E UUD 1945 yang bunyinya :

setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan –nya, serta berhak kembali.
jam ekstra
pendidkan agama harusnya diluar jam pelajaran pokok yang sering kita lakukakan. Melainkan harusnya diberikan pada jam ekstra untuk lebih mendalam dalam mempelajari agama. Soalnya, pendidikan agama yang kerap di ajarkan di kelas sering mentargetkan apa yang di bebankan. Pendidikan agama malah menjadi target. pendidikan agama kalau dibiarkan akan menjadi kering esensi keagamaan.

Pendiidkan yang diberikan pada jam luar akan semakin memperdalam kajian islam. Hal ini dikarenakan pembimbing akan lebih detail dalam mengajarkan materi setiap siswa. Guru akan mengecek satu persatu tentang tata cara solat. Apabila, guru menemukan siswa yang kurang benar dalam menjalankan solat akan selalu dibimbing tanpa harus peduli dengan jam yang dibebankan.

Mengeluarkan pendidikan agama akan semakin menjadikan siswa religius. Kita akan menyaksikan siswa-siswi akan senang hati bergerak hatinya belajar agama secara intim. Mereka akan belajar sesutau yang menjadi permasalahan sosialnya, bukan lagi belajar sesuatu hal yang tidak pernah ada dalam interaksi sosialnya. Sehingga, pendidikan agama memang harus keluar dalam sekolahan. Atau lebih akarab sebagai sekularisasi sekolahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar