Jumat, 16 Januari 2015

Kediktatoran Guru Pendidikan



Melawan Kediktatoran Guru

Melwan guru dalam kultur peradaban jawa mengandung nilai negatif. Murid sebaiknya patuh dan taat kepada guru. Apa-apa saja yang keluar dari mulut guru harus “digugu lan ditiru”, itulah ungkapan familiar dalam dunia pendidikan tentang guru. Sehingga, murid sangat menakuti guru. Akhirnya, murid menjadi taklid yang membabi buta. Karena kebebasan mereka harus hilang karena menghormati kode etik dalam tingkah laku dunia pendidikan.

Guru dalam melakukan pembelajaran banyak ditemui melakukan tindakan arogansi kepada murid. Demi menjaga “status dan kewibawaan” guru akan melakukan apapun untuk menjaganya. Mengingat, status dan kewibawaan menjadi nilai yang harus mati-matian dijaga. Agar murid tunduk dan tidak banyak membantah apa yang keluar dari ucapannya. Hal inilah yang menjadi murid seperti terpenjara dalam sekolahan. Murid yang masih lugu seperti di setir dan mengikuti semua doktrin gurunya, baik buruk tidak peduli.

Tidak jarang, apabila murid bervokal dalam kelas akan mendapat nilai negatif dari sejumlah teman-temannya termasuk guru. Hal ni sudah tertanam kuat dalam benak murid kalau  guru memiliki ilmu mutlak suci seperti  status kiyai dipondok. Guru memiliki sabda yang dianggap semuanya benar. Tidak ada yang salah. Apapun bantahan kepada gagasan guru akan salah dimata semua orang.

Melawan formalitas
Hal inilah yang menjadi problem pendidikan dalam negeri sulit terpecahkan. Banyak pendidikan kita, masih mendukung paham kolot yang pernah di proklamirkan imam al ghazali. Dalam kitabnya  ihya ulumuddin halaman 155. Imam ghozali pernah mengatakan bahwa dalam mencari ilmu murid harus patuh dan taat kepada guru, hal ini sesuai dengan kode etik murid dalam pembelajaran. Kode etik yang menjadikan pusat dari kajian imam ghozali menjadikan paham pendidikan kita semakin terpuruk.

Agama islam yang banyak terpeluk murid atau guru di negeri ini, menjadikan paham imam ghozali sebagai pusat pedoman. Setiap pengajian dan setiap ada waktu sedikit tak jarang seorang guru ngaji atau guru pendidikan islam akan memberikan doktrin terhadap etika mencari ilmu. Sedangkan, karena dirumah ibu atau ayah menganjurkan sama persis yang dinasihatkan gurunya, maka semakin nyamanlah sistem yang menjadi paham al ghozali terpeluk.

Namun, dalam dunia pendidikan hal ini tidak senada yang dikelaurkan oleh imam al ghozali. Karena dalam kajian imam al ghozali mengandung muatan nilai Agama yang jadinya, beliau sangat berhati-hati. Karena doktrin agama bersifat rigit. Dalam pembelajaran agama juga mengandung nilai yang apabila bebas dipahami dan masih bertaraf murid akan susah menghayati nilai-nialai agama. Unutuk itu dalam dunia pendidikan nasional tidak boleh guru seenaknya dalam mendidik. Karena kalau guru masih menggunakan paham kediktatorannya maka, kebebasan akan “fitrah” anak didik akan terpupus.

Murid harusnya diberikan suara yang lebih banyak dalam pembelajaran. Guru hanya memonitoring saja dalam melakukan pembelajran. Untuk melakukan kebebasan berfikir maka perlu adanya pancing berfikir. Sebagai guru harusnya memberikan pancingan yang kontroversial agar murid mejadi terpiicu untuk  melakukan perlawanan kepada opini guru. Sehingga, pembelajran tidak kaku dalam mencari ilmu. Doktrinasi terhadap ilmu pengetahuan di sekolah akan hilang.

Dengan budidaya perlawan terhadap kesakralan sabda guru akan menjadikan setiap murid di kelas terpicu oleh semangat mencari refrensi mendebat atau menolak pandangan gurunya. Akibatnya, semangat mencari ilmu akan terpanggil. Perpustakan sekolah akan menjadi tempat paling terfavorit dikunjungi oleh setiap sisiwa. Tidak jarang waktu yang sebelumnya dihabiskan bermain game, nongkrong ataupun meng-gosip akan menjadi diskusi aktif membahas pembelajaran kebelakang.

Murid yang vokal menyuarakan gagasannya dalam kelas, seharusnya diberikan hadiah di mata kawan-kawannya. Agar kawan-kawan melihat kalau bervokal itu baik, tidak bruruk. Membantah ilmu itu mendapat hadiah. Sehingga, formalitas terhadap pengajaran selama ini akan hilang sendirinya.

Muridpun dengan itu, akan terpicu dan senang datang sekolah. Sekolah akan dijadikannya sebagai taman untuk sharing pengetahuan. Sehingga rasa takut datang ke sekolahan akan tersingkirkan. Karena kebebasan bereksprenya dapat di tampung oleh pendidik.

Formalitas guru yang menginginkan “status” kewibawaannya tidak bakal hilang. Biar bagaimanapun status yang terpeluk oleh guru akan tetap tersemayam. Gurupun harus ingat kalau dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jadi, penghormatan terhadap status kewibawaan adalah sebuah anggapan kesalah besar.

Untuk itu setiap guru harus mengerti, kalau masih menggunakan paham formalitas akan semakin menjadikan murid terpuruk. Maka, tentunya, perlu yang namanya perubahan dari sistem pendidikan dari menjaga kediktatoran kini harus menyingkirkan kediktatoran.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar