Melawan
Kediktatoran Guru
Melwan guru dalam kultur peradaban jawa mengandung
nilai negatif. Murid sebaiknya patuh dan taat kepada guru. Apa-apa saja yang
keluar dari mulut guru harus “digugu lan ditiru”, itulah ungkapan familiar
dalam dunia pendidikan tentang guru. Sehingga, murid sangat menakuti guru.
Akhirnya, murid menjadi taklid yang membabi buta. Karena kebebasan mereka harus
hilang karena menghormati kode etik dalam tingkah laku dunia pendidikan.
Guru dalam melakukan pembelajaran banyak ditemui
melakukan tindakan arogansi kepada murid. Demi menjaga “status dan kewibawaan”
guru akan melakukan apapun untuk menjaganya. Mengingat, status dan kewibawaan
menjadi nilai yang harus mati-matian dijaga. Agar murid tunduk dan tidak banyak
membantah apa yang keluar dari ucapannya. Hal inilah yang menjadi murid seperti
terpenjara dalam sekolahan. Murid yang masih lugu seperti di setir dan mengikuti
semua doktrin gurunya, baik buruk tidak peduli.
Tidak jarang, apabila murid bervokal dalam kelas akan
mendapat nilai negatif dari sejumlah teman-temannya termasuk guru. Hal ni sudah
tertanam kuat dalam benak murid kalau
guru memiliki ilmu mutlak suci seperti
status kiyai dipondok. Guru memiliki sabda yang dianggap semuanya benar.
Tidak ada yang salah. Apapun bantahan kepada gagasan guru akan salah dimata
semua orang.
Melawan formalitas
Hal inilah yang menjadi problem pendidikan dalam
negeri sulit terpecahkan. Banyak pendidikan kita, masih mendukung paham kolot
yang pernah di proklamirkan imam al ghazali. Dalam kitabnya ihya ulumuddin halaman 155. Imam ghozali
pernah mengatakan bahwa dalam mencari ilmu murid harus patuh dan taat kepada
guru, hal ini sesuai dengan kode etik murid dalam pembelajaran. Kode etik yang
menjadikan pusat dari kajian imam ghozali menjadikan paham pendidikan kita
semakin terpuruk.
Agama islam yang banyak terpeluk murid atau guru di negeri
ini, menjadikan paham imam ghozali sebagai pusat pedoman. Setiap pengajian dan
setiap ada waktu sedikit tak jarang seorang guru ngaji atau guru pendidikan
islam akan memberikan doktrin terhadap etika mencari ilmu. Sedangkan, karena
dirumah ibu atau ayah menganjurkan sama persis yang dinasihatkan gurunya, maka
semakin nyamanlah sistem yang menjadi paham al ghozali terpeluk.
Namun, dalam dunia pendidikan hal ini tidak senada yang
dikelaurkan oleh imam al ghozali. Karena dalam kajian imam al ghozali
mengandung muatan nilai Agama yang jadinya, beliau sangat berhati-hati. Karena
doktrin agama bersifat rigit. Dalam pembelajaran agama juga mengandung nilai
yang apabila bebas dipahami dan masih bertaraf murid akan susah menghayati
nilai-nialai agama. Unutuk itu dalam dunia pendidikan nasional tidak boleh guru
seenaknya dalam mendidik. Karena kalau guru masih menggunakan paham
kediktatorannya maka, kebebasan akan “fitrah” anak didik akan terpupus.
Murid harusnya diberikan suara yang lebih banyak dalam
pembelajaran. Guru hanya memonitoring saja dalam melakukan pembelajran. Untuk
melakukan kebebasan berfikir maka perlu adanya pancing berfikir. Sebagai guru
harusnya memberikan pancingan yang kontroversial agar murid mejadi terpiicu
untuk melakukan perlawanan kepada opini
guru. Sehingga, pembelajran tidak kaku dalam mencari ilmu. Doktrinasi terhadap
ilmu pengetahuan di sekolah akan hilang.
Dengan budidaya perlawan terhadap kesakralan sabda guru
akan menjadikan setiap murid di kelas terpicu oleh semangat mencari refrensi
mendebat atau menolak pandangan gurunya. Akibatnya, semangat mencari ilmu akan
terpanggil. Perpustakan sekolah akan menjadi tempat paling terfavorit
dikunjungi oleh setiap sisiwa. Tidak jarang waktu yang sebelumnya dihabiskan
bermain game, nongkrong ataupun meng-gosip akan menjadi diskusi aktif
membahas pembelajaran kebelakang.
Murid yang vokal menyuarakan gagasannya dalam kelas,
seharusnya diberikan hadiah di mata kawan-kawannya. Agar kawan-kawan melihat
kalau bervokal itu baik, tidak bruruk. Membantah ilmu itu mendapat hadiah.
Sehingga, formalitas terhadap pengajaran selama ini akan hilang sendirinya.
Muridpun dengan itu, akan terpicu dan senang datang
sekolah. Sekolah akan dijadikannya sebagai taman untuk sharing
pengetahuan. Sehingga rasa takut datang ke sekolahan akan tersingkirkan. Karena
kebebasan bereksprenya dapat di tampung oleh pendidik.
Formalitas guru yang menginginkan “status”
kewibawaannya tidak bakal hilang. Biar bagaimanapun status yang terpeluk oleh
guru akan tetap tersemayam. Gurupun harus ingat kalau dia adalah pahlawan tanpa
tanda jasa. Jadi, penghormatan terhadap status kewibawaan adalah sebuah
anggapan kesalah besar.
Untuk itu setiap guru harus mengerti, kalau masih
menggunakan paham formalitas akan semakin menjadikan murid terpuruk. Maka,
tentunya, perlu yang namanya perubahan dari sistem pendidikan dari menjaga
kediktatoran kini harus menyingkirkan kediktatoran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar